Korban Zonasi atau Kalah Kompetisi

sambil menemai istri mempersiapkan sahur, iseng iseng buka whatsapp. Ada sebuah komentar di group whatsapp guru yang menggelitik saya

komentar seorang guru di group whatsapp

Termasuk sy anak sy pak korban zonasi, dengan susah payah les dengan biaya yg tidak sedikit, belajar dengan giat agar dapat diterima di sekolah impian akhirnya harus frustasi karena zonasi. Sekarang anaknya ngelamun aja, gak da tawa dan canda bahkan kemarin kalau sy gak marah dia gk mau makan. Rayuan sy gak mempan. Kecewa karena nem rendah bisa diterima di sekolah negeri.

dari yang saya tangkap, ibu tersebut merasa sebagai korban zonasi karena anaknya sudah belajar dapet nilai tinggi tapi tidak bisa di terima di sekolah favoritnya, sehingga si anak menjadi frustasi karena kecewa. Pada ibu tersebut adalah juga seorang pendidik yang seharusnya sudah tahu mengenai aturan zonasi.

saya sangat miris membaca komentar ini sehingga tidak tahan ikut berkomentar, tapi saya kurang puas menumpahkan pemikiran saya di sana sehingga mengilhami untuk menulis artikel ini.

Seperti yang kita ketahui bersama Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 masih menggunakan jalur zonasi, sebagaimana yang tertuang dalam Permendikbud No.51/2018 tentang penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020

Di sini saya tidak membahas mengenai aturan tetepi mengenai bagaimana kita menerima dan mensiasati aturan teresebut. Sebagai guru atau orang tua kita harus menyadari bahwa aturan yang di buat pemerintah untuk mengakomodir kepentingan orang banyak.

walapun ada zonasi, seharusnya tidak ada yang menjadi korban karena semua sudah ada celahnya. Ada jalur prestasi sebanyak 5% dari total siswa yang di terima. kalo memang anak kita atau kita sebagai orang tua ingin memasukan anak ke sekolah favorit, peluang itu masih sangat terbuka lebar. silahkan kejar dari jalur prestasi, jika memang anak kita pintar dan berprestasi tentu mereka akan bisa memilih sekolah di manapun. dan ketika mereka tidak mampu untuk masuk sekolah favorit karena kurang prestasi maka jangan merasa sebagai korban, karna istilahnya bukan korban zonasi tapi kalah bersaing.

Kenapa saya menyoroti istilah korban zonasi, karena efecknya beda antara korban dan kalah bersaing. ketika anak kalah bersaing, ajarkan mereka menerima kekalahan dan bangkit kembali menjadi pribadi yang siap menang dalam persaingan berikutnya. sekolah hanya satu dari sekian ujian dan persaingan yang akan mereka hadapi. Kadang saya berpikir ini anaknya yang pengen atau orang tuanya yang ngebet.

bagi saya pribadi sekolah favorit bukan harga mati, jauh sebelum ada zonasi saya menekankan ke anak saya untuk sekolah yang dekat dengan rumah, dengan beberapa keuntungan ketika mereka sekolah di dekat rumah menurut saya sebagai berikut :

  1. Eifisian dalam waktu, berangkat bisa santai pulang pun dengan santai
  2. Faktor kemaman lebih terjamin, deket rumah banyak tetangga yang juga sekolah di sana.
  3. Dari transportasi Menekan biaya dan ikut menurangi kemacetan
  4. membuat anak lebih dekat dengan tetangga sekitar
  5. mempunyai waktu luang yang banyak untuk bermain atau mempelajari kemampuan lain di luar sekolah seperti olahraga beladiri, kesenian dan lain2

#masih bersambung
#Kerjaan lagi padet

Tulisan ini dipublikasikan di Personal. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.